Gimana ni tampilan blog saya?

Kamis, 27 Oktober 2011

Konsep Negara Integralistik

Di akhir kekuasaan rezim Orde Baru, pernah muncul polemik dan perdebatan di kalangan akademisi seputar konsep atau pandangan negara Integralistik. Polemik itu berupa implikasi dari konsep negara integralistik Soepomo terhadap sistem demokrasi di masa Orde Baru. Kerangka berpikir yang berkembang secara dominan berpendapat bahwa penafsiran tentang konsep negara integralistik tanpa disadari telah melahirkan rezim otoritarian yang dibungkus secara apik oleh Orde Baru dalam Demokrasi Pancasilanya.
     Perdebatan itu memunculkan aneka versi pandangan terhadap sosok dan pemikiran filosofis Soepomo ini. Ada yang menilainya secara negatif dengan mengatakan bahwa konsep negara integralistik itu merupakan benih subur bagi berkembangnya kekuasaan yang otoriter dari para penguasa selama kurun waktu yang panjang itu. Akan tetapi, ada juga yang membela Soepomo. Mereka menyatakan bahwa konsep negara integralistik itu sesuai dengan jati diri Indonesia tanpa memaksudkan akan lahirnya sistem kekuasaan yang otoriter.
     Pemikiran Soepomo tentang konsep negara integralistik atau paham negara kekeluargaan menurut banyak pihak sangat berpengaruh dalam perumusan UUD 1945. Tanggal 31 Mei 1945, di Gedung Chuo Sangi In di jalan Pejambon 6 Jakarta, Soepomo berpidato di hadapan sidang umum BPUPKI. Soepomo dalam pidato yang cukup panjang itu menguraikan tiga teori yang bisa dipilih sebagai dasar dan prinsip negara yang akan dibentuk.
Pertama, ia menyebut teori perseorangan atau teori individualistik. Teori ini diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Herbert Spencer dan Laski. Menurut teori ini, negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat demi menjamin hak-hak individu di dalam masyarakat.
Kedua, Soepomo “menawarkan” teori pertentangan kelas atau  teori golongan sebagaimana diajarkan oleh Karl Marx, Engels dan Lenin. Dalam teori ini, negara merupakan alat dari suatu golongan yang kuat untuk menindas golongan yang lemah.
Ketiga, Soepomo mengajukan teori yang ia sebut sebagai teori atau konsep negara integralistik yang didasarkan pada ide Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Apa itu negera integralistik? Menurut Soepomo, integralistik berarti negara tidak untuk menjamin kepentingan individu. Bukan pula untuk kepentingan golongan tertentu, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhya sebagai satu kesatuan yang integral.
Dalam konsep negara integralistik, negara adalah kesatuan masyarakat yang organis dan tersusun secara integral. Di dalamnya, segala golongan, segala bagian, semua individu berhubungan erat satu sama lain. Pemikiran ini didasarkan pada  prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya. Bagi Soepomo, konsep negara seperti ini cocok dengan alam pikiran ketimuran. Lagi menurutnya, pemikiran ini juga didasarkan pada struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli yang terdapat di desa-desa di Indonesia. Bagi Soepomo, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Struktur sosial Indonesia meliputi aliran pikiran dan semangat kebatinan. Struktur kerohaniannya bersifat persatuan hidup antara persatuan kawulo dan gusti. Persatuan dunia luar dan dunia batin. Persatuan mikrokosmos dan makrokosmos.  Persatuan antara rakyat dengan  pemimpinnya. Inilah yang disebut Soepomo sebagai ide atau konsep negara integralistik. Dalam susunan persatuan antara rakyat dan pemimpinnya itu, segala golongan diliputi semangat gotong- royong dan kekeluargaan. Inilah struktur sosial asli bangsa Indonesia. Hakekat republik Indonesia adalah Republik Desa yang besar dengan unsur dan wawasan yang modern.

Pandangan Ulama tentang Pemberian Suara dalam Pemilu

Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang pemberian suara seorang muslim dalam pemilu atau masuk sebagai anggota parlemen di suatu negara yang tidak menegakkan hukum Allah swt.
1. Para ulama yang tidak membolehkan hal itu cenderung melihat bahwa demokrasi adalah pengalihan peran pembuatan hukum dari Allah swt—sebagai pembuat syariat—kepada manusia, dan ini termasuk kedalam kekufuran.
Diantara ulama yang tidak membolehkan adalah Syeikh Abdurrahman as Suhaim, anggota Markaz Da’wah dan Irsyad, Riyadh yang berpendapat bahwa tidak boleh memasuki Majlis Parlemen dan sesungguhnya orang-orang yang memasuki majlis ini telah mengetahui secara yakin bahwa mereka tidaklah bisa merubah hukum yang berlaku sedikit pun! Permasalahan kita bukanlah permasalahan harta atau menegakkan had (hukum) terhadap seorang pencuri! Permasalahan kita adalah bagaimana berhukum dengan syariat Allah, menjadikan manusia menyembah Tuhan manusia. Cukuplah berdosa bagi orang yang memasuki majlis-majlis seperti ini, sesungguhnya ia telah diseru untuk menerima hukum Allah namun menolak, dan rela dengan—selain hukum Allah—adalah kufur terhadap Allah Yang Maha Besar.”
Beliau melanjutkan,”Yang jelas kemudharatan memasuki majlis ini adalah lebih besar dari pada manfaatnya, dosanya lebih besar dari pada menfaatnya! Dan kita memiliki kaidah bahwa “menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada mendapatkan manfaat.”
2. Sedangkan mereka yang berpendapat boleh bahkan wajib memanfaatkan pemilu dengan memberikan suaranya atau memasuki parlemen tersebut berdalil bahwa hal itu merupakan bagian dari pemberian kesaksian.
Diantara para ulamanya adalah :
Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang mengatakan,”Apabila kita melihat kepada peraturan seperti peraturan Pemilu atau pemberian suara maka hal tersebut didalam pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih sesuatu yang paling layak.”
Beliau melanjutkan,”Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh maka sesungguhnya ini adalah suatu dosa besar karena telah memberikan kesaksian palsu bahkan ditempatkan setelah syirik terhadap Allah swt dalam firman-Nya :
#(
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Artinya : “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al Hajj : 30)
Dan barangsiapa yang memilih wakilnya dikarenakan ia adalah kerabat, satu bangsa, kepentingan pribadi maka ia telah melanggar perintah Allah swt
وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ

Artinya : “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. At Thalaq : 2)
Dan barangsiapa yang melanggar dari menunaikan amanahnya dalam pemilu sehingga orang yang amanah tersingkir dan didominasi oleh orang-orang yang tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan kuat lagi amanah sesungguhnya dia telah melanggar perintah Allah swt dalam menunaikan janji padahal ia telah dipanggil untuk itu dan dia juga telah menyembunyikan kesaksiannya yang dibutuhkan oleh umat ini sebagaimana firman-Nya
Artinya : “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS. Al Baqoroh : 282)
Artinya : “Dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS. Al Baqoroh : 283)
Syeikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya tentang Hukum Pemilu maka beliau menjawab,”Saya melihat pemilu adalah suatu kewajiban dan kita harus menentukan orang yang kita anggap memiliki kebaikan karena apabila orang yang baik mundur, lantas siapa yang mengisi posisi mereka? tentunya posisi itu akan diduduki oleh orang-orang jahat atau orang-orang yang tidak memiliki pendirian atau yang tidak mempunyai kebaikan dan juga keburukan, ia hanya mengikuti setiap orang yang mengajaknya, untuk itu kita harus memilih orang yang kita anggap baik.
Apabila ada orang yang bertanya,”Kita hanya memilih satu orang sementara sebagian besar majlis tersebut adalah sebaliknya?” Kita jawab,”Tidak apa-apa. Satu orang ini apabila Allah menjadikan didalamnya ada keberkahan dan dia menyuarakan kalimat kebenaran di majlis tersebut tentunya akan memberikan bekas (pengaruh)…”
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Abdur Razaq ‘Afifi dan Syeikh Abdullah bin Ghodyan, dari Komisi Riset dan Fatwa (Saudi) pernah ditanya tentang Pemilu di Aljazair yang di negara tersebut ada Partai-partai yang mengajak kepada hukum islam dan sebagian partai lainnya menolak hukum islam. Bagaimana hukumnya bagi seorang pemilih?
Mereka menjawab,”Wajib bagi kaum muslimin yang berada di negara-negara yang tidak berhukum dengan syariat islam untuk memberikan segenap kemampuannya untuk berhukum dengan syariat islam dan saling bekerja sama bagai sebuah tangan dalam membantu partai yang diketahuinya akan menerapkan syariat islam. Adapun membantu partai yang tidak ingin menerapkan syariat islam maka ini tidak diperbolehkan bahkan bisa mengajak orang itu kepada kekufuran, sebagaimana firman Allah ;
Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 49 – 50)
Hal yang demikian juga seperti penjelasan Allah akan kekufuran orang yang tidak berhukum dengan syariat islam, larangan dari membantu mereka atau memilih mereka sebagai wali serta memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa kepada Allah jika mereka betul-betul orang-orang yang beriman.
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah : 57). (www. islam-qa.com)
Demokrasi Langkah Menuju Kekhilafahan
Allah swt telah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini, yaitu wakil Allah swt dalam mengatur dan mengurus bumi yang diamanahkan kepada mereka serta menghukum diantara manusia dengan keadilan.
Menurut Al Maududi bahwa manusia tidak akan menjadi khalifah yang benar selama tidak mengikuti hukum Sang Pencipta yang sebenarnya. Adapun sistem pemerintahan yang berpaling dari hukum Allah, menjadikan hukum yang terlepas bebas, memerintahkan dirinya sendiri, untuk dirinya sendiri maka itu bukanlah khalifah namun hal itu adalah perlawanan terhadap Sang Penguasa yang hakiki.
Artinya : “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (QS. Fathir : 39)
Menurut beliau bahwa khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu tapi komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan tersebut dan bersedia menegakkannya atas dasar ini.
Artinya : “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur : 55)
Setiap individu didalam kelompok kaum mukminin, ditinjau dari pandangan ayat ini, adalah sekutu didalam khilafah dan tidak seorang manusia atau kelas pun yang berhak mencabut kekuasaan kaum mukiminin didalam khilafah ini lalu memusatkannya ditangan sendiri.”
Beliau melanjutkan,”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah islamiyah kearah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi islami dengan demokrasi barat, yaitu bahwa dasar demokrasi barat bertumpu atas prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Adapun demokrasi dalam khilafah islamiyah, rakyat mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah dengan suka rela dan atas keinginannya sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah swt.” (Khilafah dan Kerajaan hal 63 – 67)
Mewujudkan kekhilafahan di bumi yang menjadi kewajiban setiap muslim bukanlah seperti membalikan telapak tangan, terlebih di zaman yang hampir seluruh negara telah menerapkan sistem demokrasi. Namun jalan ke arah mewujudkan cita-cita itu haruslah dirintis walaupun dengan menggunakan sarana yang bersumber dari selain islam seperti demokrasi.
Hal tersebut tidaklah dilarang selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip islam, sebagaimana Rasulullah saw pernah mengambil pendapat Salman al Farisi untuk menggali parit dalam pertempuran khondaq padahal strategi ini adalah kebiasaan orang-orang Parsia jika mereka dikepung dalam suatu pertempuran.
Golput Antara Mubah, Sunnah dan Wajib
Diantara Keputusan Majlis Fatwa dan Riset Eropa tentang keikut-sertaan seorang muslim dalam perpolitikan di Eropa adalah :
1. Pada asalnya disyariatkan keikut-sertaan politik di negara Eropa berada diantara boleh, sunnah atau bahkan wajib sebagaimana ditunjukan firman Allah swt
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah : 2.) Hal ini dianggap sebagai tuntutan para warga negara.
2. Keikutsertaan Politik ini berupa masuk dalam berbagai ormas, bergabung dengan partai, membentuk opini, ikut serta dalam pemilu dengan memberikan suara serta memilih para wakilnya.
3. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah komitmen dengan akhlak islam seperti jujur, adil, setia, amanah, menghormati keberagaman dan perbedaan pendapat, siap bersaing dengan orang-orang yang menentang islam, tidak berlaku kasar.
4. Diantara kriteria keikutsertaan politik adalah pemberian suara dalam pemilu dengan syarat komitmen dengan prinsip-prinsip syariah, akhlak dan perundang-undangan, seperti adanya kejelasan tujuan dalam membantu berbagai kemaslahatan masyarakat, jauh dari sifat licik atau curang dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu pribadi.

Meskipun keputusan Majlis Fatwa tersebut diperuntukan buat kaum muslimin di negara-negara Eropa namun pada hakekatnya kondisi negara-negara tersebut tidaklah berbeda dengan kebanyakan negara-negara muslim pada saat ini dalam hal tidak menerapkan hukum Allah swt.
Beberapa kriteria yang disebutkan didalam putusan-putusan tersebut menjadi bingkai didalam menentukan hukum dari keikut-sertaan politik seorang muslim, termasuk pemberian suara dalam pemilu, apakah boleh, sunnah atau wajib.
Hukum mana yang bisa diterapkan dalam permasalahan pemberian suara atau tidak seseorang (golput) dalam pemilu sangatlah dipengaruhi oleh tiga faktor :
1. Kualitas dari pemilihan umumnya, seperti : secara umum pemilu yang diadakan tidak dipenuhi oleh kecurangan maupun kelicikan.
2. Kualitas dari para calon anggota legislatifnya (khususnya yang muslim), yaitu :
a. Komitmen dengan prinsip-prinsip syari’ah.
b. Komitmen dengan prinsip-prinsip akhlak islam.
c. Komitmen dengan prinsip-prinsip perundang-undangan yang membawa kepada kemaslahatan umat.
3. Persyaratan pemilih dari tinjauan syari’ah, seperti ; memahami secara baik apa yang harus dilakukannya dan adil atau tepat dalam menilai menjatuhkan pilihannya.
Untuk itu setiap muslim sebelum menentukan apakah menggunakan hak pilihnya atau tidak (golput) hendaklah melihat ketiga faktor tersebut dari semua sisi, baik dari sisi syari’ah, realita politik dan prilaku di lapangan. Kemudian dia juga harus menghindari adanya faktor-faktor emosional terhadap orang yang akan dipilihnya, seperti : kesamaan etnis, daerah, profesi, atau balas jasa yang dapat merusak obyektifitas dalam memberikan penilaian.
Apabila seorang muslim dengan segala upaya yang dilakukannya tersebut melihat bahwa pemilu tersebut akan membawa kemaslahatan bagi umat, adanya keberpihakan undang-undang kepada kepentingan-kepentingan kaum muslimin baik aspek akidah, ibadah maupun amar ma’ruf nahi munkar, adanya keseriusan dalam komitmen dengan prinsip-prinsip islam dan nilai-nilai moral serta adanya upaya untuk menerapkan syari’at Allah walaupun secara bertahap maka setiap muslim harus menggunakan suaranya mendukung orang-orang yang siap berjuang untuk itu semua. Firman Allah swt :
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al Maidah : 2)
Namun apabila dia melihat sebaliknya bahwa pemilu tersebut tidaklah banyak bermanfaat buat umat, mengabaikan hak-hak kaum muslimin, menghilangkan wala (loyalitas) kepada Allah dan rasul-Nya, tidak adanya keinginan menerapkan syariat Allah, tidak komitmen dengan prinsip-prinsip islam maupun nilai-nilai moral atau mempersulit kaum muslimin dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya maka boleh bagi seorang muslim untuk tidak memberikan suaranya, sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah : 57).
Dan juga firman-Nya,”dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah.” (QS. Al Maidah : 2).
Dan jika dia melihat bahwa pemilu berada diantara dua keadaan diatas maka dianjurkan baginya untuk memberikan suaranya kepada orang-orang yang dianggapnya paling dekat dengan islam, konsisten untuk menyuarakan kebenaran, tidak mudah runtuh loyalitas keislamannya, tidak menjual umat untuk kepentingan pribadi dan golongannya serta siap memperjuangkan penerapan nilai-nilai syari’ah walaupun jumlah mereka hanyalah segelintir saja, sebagaimana kaidah “Kemudharatan (bahaya) yang besar dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan” atau “Apabila ada dua kemudharatan maka ambilah kemudharatan yang lebih ringan.” Juga firman Allah swt :
Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah : 2)

Keadaan Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan di Indonesia

SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) merupakan seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau cirri demografis, social maupun ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan. Jadi membahas sumber daya manusia berarti membahas penduduk dengan segala potensi atau kemampuannya yang terdiri atas aspek kualitas dan kuantitas.
            Bicara tentang kuantitas  (jumlah) berarti menunjukkan bagaimana karakteristik demografis tentang jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran dan  komposisi penduduk. Sedangkan untuk kualitas (mutu) menjelaskan bagaimana seorang manusia berhubungan dengan karakteristik social dan ekonomi agar terciptnya suatu keberhasilan dalam pembangunan suatu Negara. Tentunya sangat dibutuhkan sekali sumber daya manusia yang tangguh, unggul dan baik secara fisik maupun mental.
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam persaingan global, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha.
Sumber daya manusia atau penduduk menjadi asset tenaga kerja yang efektif untuk menciptakan kesejahteraan. Kekayaan alam yang melimpah tidak akan mampu memberikan manfaat yang besar bagi manusia apabila sumber daya manusia yang ada tidak mampu mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia.
Bagaimanakah kondisi sumber daya manusia di Indonesia? 

Di Indonesia terjadi ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja  dimana tentunya lapangan pekerjaan yang jauh lebih sedikit dibandingkan para pencari kerjanya. Selain itu kondisi ini juga diperparah dengan tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relative rendah dimana stuktur pendidikan angkatan kerja di Indonesia masih didominasi pendidikan dasar hampir lebih dari 50%. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi hal inilah yang membuat angka pengangguran sarjana makin tinggi. Karena begitu banyaknya lulusan perguruan tinggi tiap tahunnya tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai.
Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
            Untuk bisa meraih sukses, dituntut  sekali SDM yang berkualitas. Tuhan menganugerahkan kita dengan akal dan pikiran tentunya ini harus kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Inilah yang membuat manusia jauh lebih mulia daripada makhluk lainnya yang diciptakan Tuhan. Dengan akal tersebut kita diharapkan memiliki ilmu yang berguna. Secara formal, ilmu-ilmu tersebut bisa kita peroleh melalui lembaga pendidikan seperti sekolah atau kursus, ilmu itulah yang disebut dengan hardskill yang berupa teori-teori pengetahuan. Sementara itu yang jauh lebih penting adalah softskill yaitu bagaimana seseorang bisa menjadi mandiri, penuh inisiatifn bekerja secara cermat, penuh tanggung jawab dan gigih. Inilah yang menjadi modal utama seseorang menjadi sumber daya yang unggul dengan menyeimbangkan antara softskill dan hardskill.
Seorang lulusan sekolah atau perguruan tinggi diharapkan bisa menjadi pribadi yang menciptakan lapangan pekerjaan. Inilah mengapa pentingnya ilmu tentang kewirausahaan diberikan sedini mungkin kepada para didikan agar pikiran untuk selalu menjadi seorang karyawan ketika hendak bekerja kelak bisa mulai bergeser menjadi pemikiran yang justru menempatkan diri mereka bukan sebagai bawahan yang bisa disuruh-suruh dengan jam kerja padat, tapi justru bisa menjadi atasan dengan jam kerja yang sesuai dengan yang diinginkan. Dengan menjadi pengusaha tersebut seseorang bisa membantu pemerintah dalam mengatasi menjamurnya para penganggur.


Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia

Pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :

  1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.
  2. Aspek Ekonomi. Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi diIndonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai. Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
  3. Aspek Sosial Budaya. Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional).

Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.
Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin.